Dari Dapur ke Istana
Cory Aquino : Dari Dapur Ke Istana
Saat bergelut melawan tindakan represif rezim Orde Baru di akhir 90an silam, Ibu Megawati Soekarnoputri sedikit banyak mungkin telah mempelajari kiat-kiat perjuangan dari seorang perempuan penegak demokrasi yang bernama Maria Corazon Sumulong Cojuangco Aquino. Mendengar nama yang lumayan panjang ini mungkin terasa asing bagi kita. Akan tetapi jika menyebut hanya sebagai Cory Aquino saja pasti orang-orang sudah mahfum bahwa si pemilik nama adalah mantan presiden negeri tetangga kita, Filipina
BIOGRAFI SINGKAT CORY AQUINO
Cory Aquino, yang dilahirkan di Cojuangco di provinsi Tarlac di bagian utara Filipina pada 25 Januari 1933, berasal dari keluarga petani gula kaya. Ia mengenyam pendidikan di Amerika Serikat (AS), dan semula bercita-cita menjadi seorang guru matematika atau penerjemah bahasa. Semua itu berubah ketika ia bertemu dan menikah dengan Benigno "Ninoy" Aquino, Jr., seorang politikus cemerlang yang menjabat walikota saat berumur 22 tahun dan setelah itu menjabat gubernur provinsi Tarlac dan selanjutnya senator.
Karena kepiawaiannya, Ninoy dipandang banyak orang sebagai kandidat presiden, tapi buat rezim korup Marcos tentu saja ini merupakan ancaman serius. Pada September 1972, Marcos mengumumkan keadaan darurat dan memenjarakan ratusan pengeritik dan penentangnya, termasuk Ninoy. Sejak saat inilah perjalanan hidup Cory Aquino berubah dari kegiatan rumah tangga yang lebih banyak berkutat di dapur berganti dengan menghadapi massa pendukung suaminya.Cory berpidato di berbagai tempat atas nama suaminya serta menuntut perubahan. Pada 1980, kesehatan Ninoy memburuk. Cory pun memohon kelonggaran kepada Marcos agar mengijinkan suaminya berobat di AS. Marcos mengizinkan dan berangkatlah keluarga Aquino ke Boston, AS. Setelah tiga tahun “diasingkan” di AS, Ninoy memutuskan kembali ke tanah air tanpa didampingi keluarga pada 21 Agustus 1983.
Namun sayang belum sempat menginjakkan kaki di tanah Filipina, Ninoy ditembak mati oleh penembak misterius yang diduga kaki-tangan Marcos saat sedang menuruni tangga pesawat. Cory kemudian menyusul beberapa hari kemudian untuk memimpin upacara pemakaman suaminya yang dihadiri lebih dari dua juta orang.
Setelah peristiwa tragis itu sejumlah kalangan oposisi di Filipina merapatkan barisan dan menunjuk Cory Aquino sebagai pemimpin koalisi melawan rezim Marcos. Mulanya ia menolak, namun karena terus didesak akhirnya Cory bersedia mengemban tugas tersebut. "Saya tak berusaha melakukan pembalasan, hanya keadilan, bukan hanya buat Ninoy tapi buat rakyat Filipina yang menderita," kata Cory saat ia dengan terpaksa menerima pencalonannya.
Karena kepiawaiannya, Ninoy dipandang banyak orang sebagai kandidat presiden, tapi buat rezim korup Marcos tentu saja ini merupakan ancaman serius. Pada September 1972, Marcos mengumumkan keadaan darurat dan memenjarakan ratusan pengeritik dan penentangnya, termasuk Ninoy. Sejak saat inilah perjalanan hidup Cory Aquino berubah dari kegiatan rumah tangga yang lebih banyak berkutat di dapur berganti dengan menghadapi massa pendukung suaminya.Cory berpidato di berbagai tempat atas nama suaminya serta menuntut perubahan. Pada 1980, kesehatan Ninoy memburuk. Cory pun memohon kelonggaran kepada Marcos agar mengijinkan suaminya berobat di AS. Marcos mengizinkan dan berangkatlah keluarga Aquino ke Boston, AS. Setelah tiga tahun “diasingkan” di AS, Ninoy memutuskan kembali ke tanah air tanpa didampingi keluarga pada 21 Agustus 1983.
Namun sayang belum sempat menginjakkan kaki di tanah Filipina, Ninoy ditembak mati oleh penembak misterius yang diduga kaki-tangan Marcos saat sedang menuruni tangga pesawat. Cory kemudian menyusul beberapa hari kemudian untuk memimpin upacara pemakaman suaminya yang dihadiri lebih dari dua juta orang.
Setelah peristiwa tragis itu sejumlah kalangan oposisi di Filipina merapatkan barisan dan menunjuk Cory Aquino sebagai pemimpin koalisi melawan rezim Marcos. Mulanya ia menolak, namun karena terus didesak akhirnya Cory bersedia mengemban tugas tersebut. "Saya tak berusaha melakukan pembalasan, hanya keadilan, bukan hanya buat Ninoy tapi buat rakyat Filipina yang menderita," kata Cory saat ia dengan terpaksa menerima pencalonannya.
Pada akhir 1985, Rezim Marcos secara mengejutkan memutuskan akan menggelar Pemilu Presiden (pilpres) pada 7 Februari 1986. Saat pilpres selesai digelar, pada 15 Februari 1986, Marcos menyatakan diri sebagai pemenang. Namun menurut perhitungan komisi independen justru Cory-lah yang meraih suara terbanyak. Klaim kemenangan Marcos mendapat kecaman dari beberapa pengamat internasional yang menilai pilpres Filipina banyak terdapat kecurangan. Selain itu pihak Gereja Katolik yang sangat berpengaruh di Filipina juga menentang klaim Marcos tersebut. AS juga bersikap senada.
Rezim Marcos makin terjepit dengan mundurnya dua pejabat penting yaitu Menteri Pertahanan, Juan Ponce Enrille dan Wakil Kepala Staf Angkatan Bersenjata, Fidel Ramos. Dipicu oleh peristiwa ini, maka turunlah masyarakat Filipina ke jalanan menentang rezim Marcos. Aksi masyarakat ini dikenal sebagai People Power atau “Kekuatan Rakyat”. Aksi berpuncak pada 25 Februari 1986, saat Cory Aquino dilantik sebagai Presiden Filipina ke-11 oleh Mahkamah Agung Filipina. Namun, Marcos dengan sisa-sisa kekuatan tidak mau mengalah dan mengadakan acara serupa di Istana Malacanang yang mengangkat dirinya sebagai presiden. Langkah kontroversial ini tidak berlangsung lama karena pada malam itu juga Marcos langsung angkat kaki dari istana menuju ke Honolulu, Hawaii hingga akhir hayatnya.
MASA JABATAN & KEPRESIDENAN
Setelah resmi memerintah, Cory segera membentuk satu komite guna merancang undang-undang dasar baru, melucuti kroni Marcos yang menguasai ekonomi dan membebaskan sejumlah tahanan politik. Cory juga memulai pembicaraan dengan gerilyawan Muslim dan komunis, tapi upayanya segera kandas oleh berbagai masalah di dalam koalisi pemerintah yang ia bangun. Selama memerintah Cory beberapa kali mengalami percobaan kudeta berdarah yang digalang oleh sejumlah perwira militer simpatisan Marcos. Filipina dalam masa pemerintahan Cory juga mengalami berbagai peristiwa penting yang diantaranya adalah gempa bumi dahsyat pada 1990 di Pulau Luzon, meletusnya Gunung Pinatubo pada 1991, dan ditutupnya pangkalan militer Clark milik AS.
Menjelang akhir masa jabatan presiden pada 1992, Cory diminta para pendukungnya untuk ikut lagi dalam pilpres Filipina. Cory menolak dan malah menjagokan Fidel Ramos sebagai pengganti. Keputusan ini pun ditentang oleh sebagian besar pendukung dan pihak Gereja Katolik karena Fidel Castro beragama Kristen Protestan. Namun Cory jalan terus mendukung Castro. Selanjutnya pada pilpres 1992, Fidel Castro memenangkan pilpres dan secara resmi menggantikan Cory Aquino pada 30 Juni 1992.
PENSIUN & MENINGGAL
Selama menjalani masa pensiun, dan sampai menderita sakit, Cory yang sering mengenakan busana berwarna kuning sebagai simbol perjuangan demokrasinya tetap tampil di hadapan umum, dan seringkali berbicara lantang menentang penyimpangan yang diduga terjadi di dalam pemerintah Filipina.
Cory yang pernah dinobatkan oleh Majalah Time sebagai Women of The Year 1986 juga masih sempat turun jalan ketika terjadi People Power jilid II yang menggulingkan pemerintahan Joseph Estrada pada Januari 2001. Ia juga menjadi pengeritik lantang Presiden Gloria Macapagal Arroyo, yang keluarganya telah dituduh melakukan korupsi besar, dan bergabung dengan protes di jalan guna menentang Arroyo sampai ia didiagnosis menderita kanker usus besar pada Maret 2008..
Tanggal 1 Agustus 2009 lalu, sang pejuang demokrasi yang memulai karir politik dari “dapur” itu akhirnya berpulang ke pangkuan Sang Kuasa dalam usia 76 tahun. Selamat jalan Madam Cory...semoga perjuanganmu menegakkan demokrasi dan ketidakadilan bisa ditiru oleh para pemimpin kita. Amin.